Disusun oleh : Ustadz Abu Minhal, Lc.
Berfatwa merupakan kedudukan yang tinggi. Orang yang diamanahi untuk berfatwa memposisikan dirinya untuk menjelaskan masalah-masalah sulit yang dialami oleh masyarakat luas yang berhubungan dengan urusan agama mereka dan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus.
Karenanya, kedudukan besar ini tidak dipegang kecuali orang yang ahli untuk berfatwa. Maka, kewajiban manusia untuk bertakwa kepada Allâh سبحانه وتعالى dan tidak berbicara kecuali dengan dasar ilmu dan bashirah. Mereka pun mesti menyadari bahwa penciptaan dan penetapan hukum milik Allâh سبحانه وتعالى. Tidak ada pencipta selain Allâh سبحانه وتعالى dan tidak ada pengatur makhluk selain Allâh سبحانه وتعالى. Tidak ada aturan syariat bagi umat manusia selain aturan Allâh سبحانه وتعالى .
Allâh lah yang mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya. Allâh سبحانه وتعالى yang menentukan sesuatu adalah mandub dan menghalalkannya
Sungguh, Allâh سبحانه وتعالى telah mengingkari orang-orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan hawa nafsunya. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ …
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl/16: 116)
Di antara kejahatan yang besar, seseorang berkata tentang sesuatu itu halal, sementara ia tidak tahu hukum Allâh سبحانه وتعالى dalam masalah tersebut, atau mengatakan tentang sesuatu itu haram, namun ia tidak mengerti hukum Allâh سبحانه وتعالى pada masalah tersebut. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu hukumnya wajib, tapi ia tidak tahu apakah Allâh سبحانه وتعالى mewajibkannya atau tidak, atau sebaliknya, menyatakan sesuatu tidak wajib, sedangkan ia sendiri tidak tahu Allâh سبحانه وتعالى mewajibkannya atau tidak. Ini merupakan bentuk jinayah (kejahatan) dan perilaku buruk terhadap Allâh سبحانه وتعالى .
Sungguh aneh, seseorang tahu bahwa hukum milik Allâh سبحانه وتعالى , namun ia mendahului Allâh سبحانه وتعالى dalam masalah penentuan hukum, lalu mengatakan sesuatu tanpa dasar tentang agama Allâh dan syariat-Nya?!.
Allâh سبحانه وتعالى telah mengiringkan berkata dusta terhadap Allâh dengan perbuatan syirik kepada-Nya. Allâh k berfi rman:
قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٣
Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-A’raf/7:33)
Sesungguhnya banyak orang umum yang berani mengeluarkan fatwa bagi orang lain, dengan tanpa dasar ilmu. Mereka mengatakan ini halal, haram, wajib atau tidak wajib, namun mereka tidak tahu-menahu tentang itu sedikit pun. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allâh سبحانه وتعالى akan memintai pertanggungjawaban kepada mereka tentang apa yang mereka ucapkan pada Hari Kiamat kelak?.
Tidakkah mereka menyadari bila menyesatkan seseorang, dengan menghalalkan sesuatu baginya yang diharamkan oleh Allâh سبحانه وتعالى , atau mengharamkan sesuatu yang Allâh halalkan, maka yang memberi fatwa itu akan menanggung dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya, disebabkan fatwa yang ia sampaikan.
Sebagian orang awam menambah tindakan salah yang lain. Bila melihat seseorang ingin meminta fatwa kepada orang alim, maka orang awam itu berkata kepadanya, ‘Kamu tidak perlu meminta fatwa. Perkara itu jelas. Itu haram’, padahal sejatinya hal tersebut halal, akibatnya, ia telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh سبحانه وتعالى . Atau berkata kepadanya, ‘Ini wajib’, akibatnya ia mengharuskan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allâh سبحانه وتعالى padanya.
Atau mengatakan, “Ini tidak wajib’, padahal wajib dalam syariat Allâh سبحانه وتعالى . Atau mengatakan , ‘Ini halal’, padahal sebenarnya hukumnya haram.
Itu satu bentuk jinayah (kejahatan) darinya terhadap ajaran syariat Allâh سبحانه وتعالى dan pengkhianatan terhadap saudaranya se-Islam, lantaran ia menyampaikan fatwa kepada orang lain tanpa dasar ilmu.
Apakah benar, bila ada seseorang bertanya tentang jalan menuju suatu kota, lalu kita menjawab, ‘Arah sini’, padahal kita tidak tahu, bukankah orang-orang akan mengatakan bahwa kita berkhianat kepadanya? Maka, apakah kita boleh bicara tentang jalan menuju Surga, yaitu ajaran syariat Allâh سبحانه وتعالى yang diturunkan oleh Allâh سبحانه وتعالى, sementara kita tidak tahu-menahu tentangnya sedikit pun?.
Sebagian orang, karena terdorong sifat nekat, tidak wara’ dan tidak malu kepada Allâh سبحانه وتعالى dan tidak takut kepada-Nya, mengatakan tentang sesuatu yang jelas-jelas haram, ‘Menurutku ini tidak haram’ atau berkomentar tentang sesuatu yang jelas wajib, ‘Menurutku ini tidak wajib’, baik karena kebodohannya tentang hukum tersebut, atau karena dorongan untuk menentang dan kesombongan atau hendak menghembuskan keragu-raguan terhadap hamba-hamba Allâh سبحانه وتعالى tentang aturan agama Allâh سبحانه وتعالى.
Termasuk tanda lurusnya akal, keimanan, ketakwaannya kepada Allâh سبحانه وتعالى dan pengagungan terhadap-Nya, seseorang mengatakan ‘Saya tidak tahu’ , ‘Tanya orang lain saja’ tentang perkara agama yang tidak ia ketahui. Sesungguhnya jawaban demikian menunjukkan kesempurnaan akal orang tersebut.
Sebab, orang-orang bila melihat kehati-hatiannya, lalu mereka akan mempercayainya. Juga karena ia tahu diri dan menempatkan dirinya pada posisinya semestinya. Itu juga menunjukkan kesempurnaan imannya kepada Allâh dan ketakwaannya kepada-Nya, karena ia tidak berani berada di depan Rabbnya, dan tidak bicara sembarangan terhadap Allâh pada agama-Nya ketika tidak berilmu tentang itu.
Rasûlullâh ﷺ , insan yang paling paham tentang agama Allâh سبحانه وتعالى saja, bila ditanya tentang sesuatu yang belum turun wahyu tentangnya, Beliau menunggu tidak langsung menjawabnya sampai turun wahyu kepada Beliau, lalu Allâh سبحانه وتعالى memberikan jawaban kepada Beliau tentang pertanyaan yang ditanyakan kepada Beliau ﷺ . Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ
Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’. Katakanlah, ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik’. (QS. Al-Maidah/5:4)
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِۗ قُلْ سَاَتْلُوْا عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا ۗ ٨٣
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqurnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya”. (QS. Al-Kahfi /18:83)
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْۚ لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ
Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat, ‘Bilakah terjadinya?’. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku, tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia”. (QS. Al-A’raf/7:187)
Dahulu, para Sahabat senior saat menghadapi permasalahan dan mereka tidak mengetahui hukum Allâh سبحانه وتعالى padanya, mereka takut untuk berkata-kata. Mereka memilih sikap diam.
Ibnu Sirin رحمه الله mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih takut terhadap apa yang tidak ia ketahui melebihi Abu Bakar رضي الله عنه . Dan tidak ada orang yang lebih takut setelah Abu Bakar رضي الله عنه terhadap apa yang tidak ia ketahui melebihi Umar”.
Abdullâh bin Mas’ud رضي الله عنه berkata, “Wahai manusia, barang siapa ditanya tentang ilmu yang diketahuinya, hendaknya ia mengatakannya. Dan barang siapa tidak mempunyai ilmu, hendaknya mengatakan, ‘Allâhu a’lam’. Sebab, di antara bentuk ilmu, seseorang mengatakan tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, ‘Allâhu a’lam’”.
Ada banyak contoh fatwa yang tidak berdasarkan ilmu. Di antaranya, seorang yang sakit, bila bajunya terkena najis, dan ia tidak mungkin mensucikan bajunya itu, lalu ada orang yang menyatakan bahwa ia tidak perlu mengerjakan shalat sampai bajunya suci. Ini jelas fatwa dusta salah dan batil.
Orang sakit tetap mengerjakan shalat, meskipun mengenakan baju najis, walaupun badannya najis, bila ia tidak mampu mensucikannya. Sebab, Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka, bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghâbun/64:16)
Maka, ia mengerjakan shalat sesuai dengan keadaannya, sesuai dengan apa yang sanggup ia lakukan. Ia mengerjakan shalat dengan berdiri, bila tidak mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring, atau lalu berisyarat dengan kepalanya. Jika tidak mampu pula, ia berisyarat dengan matanya, menurut sebagian Ulama. Bila tidak mampu pula berisyarat dengan mata, sementara akal masih berfungsi, hendaknya ia berniat melakukannya dengan hati, dan mengucapkan, misalnya, ‘Allâhu Akbar’. Lalu membaca Surat al-Fatihah dan surat apa saja. Kemudian, ia mengucapkan, ‘Allâhu Akbar’, dengan niat rukuk. Selanjutnya, mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’, sembari berniat i’tidal. Kemudian, ia mengucapkan demikian dalam sujud dan gerakan lainnya, sambil berniat dengan hati melakukan gerakan yang tidak sanggup ia kerjakan. Ia tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya.
Akibat keluarnya fatwa dusta dan salah itu, sebagian kaum Muslimin meninggal, dalam keadaan tidak mengerjakan shalat, karena fatwa yang salah tersebut. Sekiranya orang-orang tahu bahwa seorang yang sakit dapat mengerjakan shalat dalam keadaan apapun, pastilah mereka meninggal dalam keadaan tetap menjaga shalat mereka.
Masalah seperti ini banyak. Maka, kewajiban masyarakat untuk mengambil hukum dari Ulama sehingga mereka dapat mengetahui hukum Allâh سبحانه وتعالى dan tidak berkata-kata dalam agama Allâh سبحانه وتعالى sesuatu yang tidak mereka ketahui. Diadaptasi dari Kitabu Al-‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله , Daru ats-Tsurayya, Cet. I, Thn. 1420 H, hlm.75-79.
سبحانه وتعالى
Majalah As-Sunnah
EDISI KHUSUS [01-02]/TAHUN. XXIII/RAMADHAN-SYAWWAL 1440H/MEI-JUNI 2019M